Pagi ini serasa gelisah saat mentari menjemputku ditepi jendelah rumah
yang dicumbu waktu. Ditemani secangkir teh dan irama musik hiphop bawakan ku
pada proses panjang, entah mulai dari mana aku akan berkisah.
Nyanyian mentari masih beradu dengan
irama gokil lagu Ma’u situkang ojek buah karya dari anak-anak P.M.C(
PBSID MC CREW), menari-nari
dalam lingkaran fikiranku hingga ide-ide serasa bom waktu yang ingin meledakan
kepala ini dengan sejuta ritme tabuhan gong peperangan. Sesaat tangan ini
mengambil cangkir yang berisi teh untuk diteguk, dalam skemata fikirku dengan
berjuta kata dan rima ingin merontak bak ketuban yang pecah ingin mengeluarkan
puisi-puisi dari pijakan tanah karang ini, puisi ini tentang puisi orang timur
dinegeri Munaseli
WATANG PEING
Bangun
dalam dekapan kepulan asap dapur
Raut
karang masih dirias oleh embun
Kicauan
mentari masih tersipu malu
Saat
langit jingga perlahan tertelan cahaya surya.
Suara
adzan subuh slimuti dingin pagi
Seakan
Baranusa tlah berpindah ke Jazirah Arab
Langgar,
surau dan puluhan masjid Tlah ramai
Dengan
kata Amin di penghujung surat Fatiha
Kepulan
asap dapur membumbung tinggi dalam doa besar
Harapan
pun sllu ditambatkan pada Alaph
Silikokng
mulai dengan suarnya yang merdu
Irama
alu dan lesung kini mulai bersahutan
Dalam
ritme tampihan nyiru di pagi itu
Bocah-bocah
cilik ramai tutupi ilakeel
Setapak-setapak
tempat pejalan kaki
Sepertinya
tlah terbangun dengan riuh kaki yang melangkah
Senyum
ibu temani langkah anak- anak mareka
Aurah
dari raut yang dihiasi jilbab cantik dipandang
Berbekal
doa dan sbungkus bekal
Kakinya
melangkah dalam sholawat.
Secangkir teh yang tadinya hangat kini tlah
dingin dan tinggal satu tegukan terakhir untuk penutup pagi menjelang siang.
Ada sedikit senyuman tentang puisi pagi ini yang ku tulis serasa ada panggilan
kuat saat ku terpisah beda istal dan diapit pagoda rindu yang menderu. Tak
kusangkah mata basahi pipi...saat senyum seribuan anak rantau membawaku pada
tempat dimana aku berpuisi total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar