Tradisi lisan merupakan bagian
dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebagai
kekayaan budaya, tradisi lisan tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, melainkan juga sebagai
alat untuk memelihara dan mewariskan buah pikiran suku bangsa atau daerah
pemiliknya. Di samping itu sebagai warisan budaya, tradisi lisan mengandung
nilai-nilai luhur, norma, yang dapat digunakan sebagai pembentuk, perekat,
pengontrol dan pengatur manusia dalam bermasyarakat. Oleh karena itu perlu
dilestarikan, dikembangkan dan
dimanfaatkan dalam hubungannya dengan pembinaan apresiasi budaya pada umumnya.
Salah
satu jenis tradisi lisan tersebut adalah nyanyian rakyat. Nyanyian rakyat dalam
hal ini yakni nyanyian naratif merupakan jenis sastra lisan bercorak naratif
(cerita) yang dipertunjukkan dengan cara dinyanyikan atau dilagukan. Nyanyian
naratif merupakan murni hasil kreatifitas masyarakat dan menjadi milik bersama,
kemudian diwariskan secara turun temurun dengan cara berguru. Tidak ada buku
rujukan yang dapat dijadikan pegangan, karena itu, nyanyian naratif termasuk
kategori kelisanan primer primary oral.
Sebagai
sebuah tradisi lisan yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya, nyanyian
rakyat tiada terurut lagi akan siapa nama pengarangya (anonim). Yang ada hanya
bahwa nyanyian rakyat lahir dari suatu masyarakat tradisional yang masih
memegang teguh tradisi lisannya. Nyanyian tersebut berkembang dan bertahan dalam
masyarakat pemiliknya. Hubungan antara keduanya, yakni nyanyian rakyat dan
pemiliknya, bukan merupakan sesuatu yang dicari-cari atau hanya mengada-ada
saja sebab nyanyian rakyat itu menampilkan gambaran kehidupan bagi masyarakat
sebagai produk sosialnya.
Nyanyian
rakyat tidak sekedar hidup dan tersebar dalam masyarakat, namun juga memiliki
arti penting dan fungsi-fungsi kolektif bagi pemiliknya. Nyanyian rakyat disini
memuat nilai–nilai budaya sebagai bahan permenungan bagi masyrakat di mana
nyanyian ini bersal.
Masyarakat
Lamaholot yang mendiami wilayah Flores Timur daratan, Adonara, Solor dan
Lembata dalam kehidupan bermasyarakat menunjukkan kekhasan budaya aslinya yang
menceminkan ciri-ciri masyarakat daerahnya. Demikian pula dengan masyarakat
Lamaholot yang tersebar di Kabupaten Lembata yang merupakan bagian suku bangsa
Lamaholot umumnya, juga menampilkan kekhasan budayanya yang diwariskan secara
turun temurun oleh leluhurnya.
Di
Lembata terdapat banyak kesenian tradisional yang merupakan warisan kebudayaan
mereka. Adapun kesenian-kesenian tradisional itu berupa tarian-tarian rakyat,
dongeng atau cerita rakyat, nyanyian rakyat dan bentuk-bentuk kesenian
tradisional lainnya. Dari beberapa kesenian tradisional tersebut penulis hanya
menyoroti salah satu nyanyian rakyat Lamaholot yakni Oreng. Oreng merupakan
nyanyian naratif masyarakat Lamaholot yang dipertunjukan dengan cara
dinyanyikan atau dilagukan oleh seorang solois yang oleh orang Lamaholot
disebut Oreng Alape (Penyanyi Oreng). Biasanya Oreng bisa
dinyanyikan dalam tarian saat upacara pesta-pesta adat dan hari-hari besar lainnya. Dalam tarian , Oreng berperan sebagai pemandu tarian tersebut. Cepat atau
lambatnya tarian Sole sangat
tergantung pada Oreng. Oreng dalam tarian sole sangat dinamis.
mula Mula-mula solois (penyanyi Oreng)
menyanyi dengan tempo lambat, kemudian sedang, dan makin lama makin cepat.
Ketika tempo cepat, klimaks, semua orang dalam lingkaran tarian menghentakan
kaki bersama-sama sambil berteriak siti
alang ga-alang ga, sebagai pertanda bahwa tarian sudah berakhir.
Di
Lembata, nyanyian rakyat tidak hanya berfungsi sebagai hiburan semata melaikan
juga memiliki fungsi kultural dalam masyarakatnya. Demikian pula dengan Oreng. Sebagai satu nyanyian rakyat Oreng disini mengandung ide-ide,
gagasan, berbagai pengetahuan tentang alam semesta menurut persepsi budaya
masyarakat yang bersangkutan, ajaran moral keagamaan dan unsur-unsur lain yang
mendukung nilai-nilai luhur. Hal ini menandakan bahwa Oreng sebagai bagian dari
warisan budaya perlu dikaji, guna meningkatkan apresiasi masyarakat tehadap Oreng. dengan meningkatnya apresiasi
masyarakat terhadapnya, berarti nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat
dihayati dengan baik dan mendalam.
Sebagai
warisan budaya, Oreng pada masyarakat
Lamaholot di Kabupaten Lembata mempunyai berbagai versi. Setiap wilayah
Kecamatan bahkan Desa memiliki versinya masing-masing. Hal ini disesuaikan
dengan pola pikir, tradisi dan tata cara adat istiadat daerahnya. Namun yang
menjadi objek penulisan di sini adalah Oreng
versi masyarakat Desa Udak Kecamatan Nubatukan Kabupaten lembata. Di desa ini Oreng sangat digemari masyarakat dan
hingga kini tetap dipertahankan sebagai hiburan rakyat. Oleh karena itu, di
Desa Udak Oreng memiliki tempat khusus di masyarakat. Hal
ini dapat dilihat dari sikap dan persepsi masyarakat tentang Oreng dimana mereka menyadari bahwa Oreng adalah warisan leluhur yang harus
dipertahankan.
Walaupun
Oreng itu sudah populer di masyarakat
Lamaholot pada umumnya dan masyarakat Desa Udak khususnya, namun tidak semua
orang dapat menguasai dan dapat menyanyikannya. Masyarakat menyadari bahwa Oreng adalah kesenian rakyat mereka
tetapi tidak semua dari mereka belum mengetahui nilai-nilai yang terkandung di
dalammya.
Hakikat Oreng
Oreng merupakan
salah satu nyanyian Lamaholot berbentuk narasi. Dikatakan nyanyian naratif
kerena Oreng disini berupa tuturan
yang cara penuturannya adalah dengan cara dinyanyikan. Mengenai isinya, Oreng biasanya memuat berbagai kisah
atau peristiwa dalam kehidupan masyarakatnya. Tema dari Oreng pun senantiasa disesuaikan dengan situasi dan suasana hati
saat oreng itu dilagukan. Bagi orang Lamaholot khususnya masyarakat Udak
sebagai pemilik nyanyian naratif ini, Oreng
merupakan tradisi lisan yang menggambarkan kehidupan berbudaya masyarakatnya
harus dijunjung tinggi dan dipahami secara khusus.
Nyanyian
naratif Oreng biasanya dibawakan atau
dinyanyikan oleh seorang solois ( penyanyi tunggal) yang oleh masyarakat
Lamaholot di Udak biasa disebut dengan Oreng
alpe. Apabila dinyanyikan sebagai pengiring tarian, oreng selalu diawali
dengan Sole (salah satu nyanyian bersama yang diselingi
dengan pantun berbalasan) ketika gerak tarian itu semakin cepat maka Oreng alape akan mengambil alih. Dengan
kemampuan Gapen Garek (kemampuan
penyanyi Oreng merangkai kata-kata)
sang penyanyi akan mengiringi tarian dengan nyanyiannya yakni Oreng itu sendiri. Isi nyanyiannya pun
cenderung lebih panjang karena dalam tarian, Oreng biasanya mengangkat berbagai kisah hidup masyarakat. Hal ini
berbeda dengan Oreng yang dilagukan
saat Oreng alape sedang sendirian
misalnya saat mengiris tuak (tuak lolon)
atau saat sedang duduk bersama sambil melepas lelah, isi Oreng hanya mengisahkan satu peristiwa kehidupan seseorang, entah
itu kisah hidup Oreng alape itu
sendiri atau kisah hidup orang lain yang menyentuh hati sang penyanyi.
Bahasa
yang digunakan dalam Oreng bukanlah
bahasa yang selalu digunakan masyarakat sehari-hari melainkan bahasa dengan
pilihan kata khusus dan mengandung makna kiasan sehingga tidak bisa dipahami
secara harafia namun membutuhkan interpretasi dari pendengarnya. Pilihan
kata-katanya pun disesuaikan dengan motif saat Oreng dilagukan. Pilihan kata-kata khusus Oreng ini bertujuan untuk mempengaruhi perasaan pendengarnya. Jika Oreng dilagukan saat suasana sedih maka
seorang Oreng alape akan menggunakan nua snusana (kata- kata sedih) yang
mampu membuat pendengarnya menangis. Sebaliknya apabila oreng dilagukan saat suasana senang (dalam keramaian pesta),
seorang Oreng alape biasanya menggunakan
nua senarena (kata-kata bahagia )
sehingga terkadang membuat pendengarnya tertawa senang. Hal ini berhubungan
dengan Oreng sebagai salah satu karya
seni yang harus memiliki cita rasa seni tinggi untuk dinikmati dan akan lebih
muda dipahami isinya.
Berdasarkan
pada pandangan masyarakat, terutama tokoh masyarakat, dan penutur Oreng itu sendiri bahwa, hakikat Oreng tidak bisa dipisahkan dari
pertimbangan akan bentuk, isi, serta arti Oreng.
Kajian mengenai hakikat Oreng
meliputi tujuan Oreng dilaksanakan,
cara belajar Oreng, penutur Oreng dan kriteria seorang penutur.
1.
Tujuan
Oreng
Nyanyian
naratif Oreng merupakan tradisi turun
temurun masayarakat Lamaholot termasuk masyarakat di Udak. Nyanyian naratif ini
bisa saja dilagukan dengan tanpa dan melibatkan partisipan. Namun di Udak, Oreng lebih sering dinyanyikan dalam
upacara-upacara adat, pesta dan bentuk-bentuk keramaian lainnya. Dengan kata
lain, Oreng di Udak lebih sering
dinyanyikan dengan melibatkan partisipan. Apabila membutuhkan partisipan, maka
oreng ini dinyanyikan oleh Oreng
alape dalam sebuah tarian, dimana semua pesertanya mendengarkan nyanyian ini
secara hikmat sambil berpegangan tangan dan bergerak melingkar secara teratur
yakni dengan derap kaki berirama dan tetap.
nyanyian
naratif Oreng bertujuan untuk
mengisahkan berbagai peristiwa kehidupan masyarakat secara keseluruhan atau
peristiwa khusus seseorang dimana kisah
perseorangan ini tidak terlepas atau masih bersangkut-paut dengan kehidupan
sosial masyarakat Lamaholot secara keseluruhan. Selain itu, nyanyian naratif Oreng dilakukan dengan tujuan untuk
menghibur dan yang paling penting disini adalah melakukan Oreng berarti mengembangkan seni budaya Lamaholot yang kaya dengan
bahasa puitis yang memiliki pengertian dan arti yang luas.
Suatu
hal yang yang perlu tegaskan dalam kajian ini adalah bahwa panjang pendeknya
kisah dalam nyanyian naratif Oreng
sangat tergantung pada penuturnya. Dengan kata lain, bahwa penutur mempunyai
hak untuk memperpanjang atau memperpendek ceritanya sesuai dengan kondisi,
waktu, tempat dan situasi penuturnya. Yang penting cerita yang disampaikan oleh
Oreng alape senantiasa terikat pada
elemen-elemen kesusastraan sesuai dengan poetika Lamaholot.
2.
Cara
Belajar Oreng
Seorang
penutur Oreng haruslah mempunyai
bakat khusus sehingga hanya orang-orang tertentu yang mampu unutk menuturkan Oreng. Oleh karena itu, seorang penutur
juga harus memiliki pengetahuan yang luas tentang peristiwa yang dituturkannya
lewat nyanyian.selain itu, ia juga memerlukan latihan khusus bagaimana melakukan
gapen garek ( kemampuan
merangkai kata-kata) dalam nyanyian naratif Oreng.
Setiap
penutur memiliki cara tersendiri yakni ada yang langsung belajar pada penyanyi
atau penutur terdahulu dan cara berikutnya adalah dengan cara otodidak yakni
mendengar dan merekam sendiri nua maketa
(kata-kata kunci) dan mempraktekannya sendiri. Cara otodidak ini jarang
dilakukan oleh sembarangan orang namun ada juga yang lebih mudah untuk belajar.
Cara ini penutur oreng biasanya lebih mudah untuk mengembangkan ceritanya dan
bebas dalam merangkai kata-kata dalam tuturannya.
Sebagai contoh, Berdasarkan wawancara terhadap
bapak Laurensius Ali, beliau mengaku bahwa ia lebih mudah mempelajari Oreng dengan cara otodidak yakni
mendengarkan nyanyian langsung dari kakaknya Alm. Antonius Lewun Udak. Perlu
diketahui bahwa kedua orang ini merupakan Oreng
alape yang sangat diandalkan oleh masyarakat Udak.
3.
Penutur
Oreng
Oreng alape adalah penutur
yang memiliki bakat khusus atau keahlian dalam menciptakan dan menuturkan Oreng. Penuturan Oreng yang dilakukan semata-mata karena dorongan dan kesadaran
untuk mewariskan kesenian asli Lamaholot dan mengembangkan budaya menuturkan Oreng. Pada umumnya, di Udak, oreng
alape berusia antara 40-75 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan adanya penutur
Oreng yang masih berusia lebih muda
berdasarkan kriteria umur di atas. Pada umumnya, Oreng alape ini
mnyanyikan Oreng karena terdorong
oleh keinginan pribadinya untuk menghibur dirinya sendiri, kerabat, dan
masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, Oreng
merupakan salah satu bentuk kesenian budaya Lamaholot, dan juga memiliki nilai
kehidupan berbudaya serta nilai-nilai estetik yang terkandung di dalamnya.
4.
Kriteria
Seorang Penutur
Dalam
nyanyian naratif Oreng, seorang
penutur Oreng harus betul-betul memahami
dan memiliki pengalaman dalam melakukan gapen
garek (kemampuan merangkai kata-kata)
yang indah untuk dijadikan syair Oreng.
Sesuai dengan lingkungan sosial kemasyarakatan, seorang penutur Oreng dituntut untuk betul-betul tahu,
memilih kata-kata dan mampu menguasai bahasa Oreng, mempunyai warna vokal dan teknik pernapasan yang baik dan
seimbang, haruss tahu apa maksud dan tujuan Oreng
dilagukan sebagai penutur tuan rumah dan juga mampu menanggapi apa yang
dituturkannya.
Sumber :Hasil diskusi Bersama Simon
Vinsensius Padji, S.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar